Senin, 18 Mei 2009

Jepang Modern, Tradisi Koheren

Tradisi bila tetap dijaga ternyata tidak serta merta mendapat julukan yang kurang enak: tradisionalis, kolot dan kuno. Sebaliknya, bagi masyarakat Jepang tidaklah demikian. Jepang, sebuah negara yang memperoleh kesuksesan menjadi negara modern dan patut dicontoh bagi negara-negara berkembang di Asia, justru maju dan modern karena menunggangi nilai-nilai tradisinya. Nilai-nilai tradisi apakah yang tetap diusung Jepang dalam menapaki dirinya hingga berhasil mengimbangi negara-negara maju di Amerika dan Eropa lainnya?


Untuk mem
ahami proses perjalanan panjang mengapa negara Jepang bisa maju dan berkembang menjadi negara modern perlu memahami sejarahnya yang panjang berliku. Setidaknya, ada dua masa dimana Jepang bisa mengantarkannya menjadi jadi negara modern: Pertama Masa Jengoku Jidai atau zaman Tokugawa (masa perang) berkisar antara abad XV – XVII. Pada masa ini para Samurai menjadi pasukan bela negara yang kuat dan merupakan kelas masyarakat tertinggi di
sana. Kedua, masa Restorasi Meiji (masa damai) berkisar dari abad XVII – XIX. Masa 200 tahun damai ini, para samurai tidak lagi menjadi gangster (tukang berkelahi) tetapi mengabdi menjadi guru dan mengajari anak-anak orang-orang kaya (kelas pedagang). Di Jepang waktu itu, kelas tertinggi diduduki Samurai, Ksatria, Pedagang, Petani dan beberapa kelas di bawahnya lagi.

kimonoSetelah melewati masa damai selama 200 tahun ini (Restorasi Meiji) jepang memiiliki modal yang cukup untuk maju. Bayangkan tingkat melek huruf orang jepang waktu itu sudah hampir 100% (98%). Bandingkan dengan Eropa saat itu hanya berkisar antara 60-70% saja. Lebih parah lagi jika dibandingkan dengan Indonesia yang sekarang tingkat kelulusan S1 saja hanya 20% dari total jumlah penduduk. Sedangkan yang lulus SD berkisar 60-70%. Tentu saja negara Jepang waktu itu, dengan modal masyarakat yang sudah berhasil melek huruf hampir 100% ini kemudian para samurai berpikir apakah tetap bertahan atau ingin maju terus dikembangkan menjadi negar modern. Dari pemikiran inilah para samurai yang berpikir maju kemudian memilih agar negaranya terus dibangun menuju masyarakat modern.

Dari sinilah maka anak-anak kelas pedagang yang cerdas dikirmlah ke Eropa untuk menggali ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan untuk membekali para pelajar agar menguasai dunia kelautan mereka dikirim ke Inggris. Sebab Inggris dianggap waktu itu sebagai negara yang sangat kuat maritimnya. Satu hal lagi faktor kaisar di Jepang yang sangat mendukung modernisasi adalah prinsip kenno atau sebuah posisi kekaisaran.

Di Jepang, kaisar memegang peranan yang sangat penting bagi masyarakatnya. Jika kaisar menginginkan agar negaranya kuat dan ingin memilih Eropa sebagai tujuan belajarnya, maka proses menuju itu sangatlah mudah. Kebetulan Kaisar Meiji pikirannya sangat visioner.

Pandangan terhadap Tradisi

Tradisi bagi masyarakat jepang adalah sesuatu yang tidaklah kaku sebagaimana pandangan kita selama ini. Jika kita ingat ada film Oshin yang pernah tenar di Indonesia, kita bisa melihat di sana tokoh Oshin memakai kimono, berambut panjang dan kesan-kesan fisik lainnya. Namun sekarang, sebagaimana sering kita melihat artis-artis Indonesia berkiblat pada mode pakaian para ABG (anak baru gede) dan remaja Jepang: berambut pirang, bercat dan pakaian dengan style khas. Ini bisa dilihat pada gaya pakaian artis cantik Maia dan Mulan Kwok (grup Ratu) dan penyanyi muda berbakat.

Dari sini kemudian kita bertanya: Apakah mereka menghargai tradisi Jepang atau tidak? Kesan kita selama ini, orang Jepang itu pakai kimono, berambut panjang, dan kesan-kesan fisik lainnya. Tapi yang disebut tradisi di Jepang itu bukanlah itu semua, tapi spirit untuk memadukan antara kehendak untuk maju dengan spirit mempertahankan budaya. Simbol-simbol tradisinya bisa hilang, tapi spirit selalu ada dalam dada mereka. Mereka bisa mengatakan, saya orang Jepang, walau rambut saya merah. Disamping itu, hingga saat ini, banyak orang-orang kita menganggap bahwa gaya bekerja orang Jepang sangat tinggi, dan sangat keras. Rupanya, antusias untuk maju begitu kuat di dada mereka.

Darimanakah semangat yang begitu keras di dapatkan. Ternyata, bukan dari siapa-siapa dan bukan dari orang luar tetapi dari spirit para guru-guru samurai yang diturunkan murid-murid pedagang. Spirit itulah yang sekarang masih ada dan menyatu pada diri dan membentuk kepribadian orang Jepang. Keuletan bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang dari orang Barat itu jugalah yang membuat orang Barat geleng-geleng kepala. Mereka seakan-akan hidup untuk, bukan bekerja untuk hidup. Dari kacamata ilmu sosial ada istilah virus kemajuan (need for achievement) itu kini terbentuk di masyarakat Jepang. Sebuah tradisi yang begitu menggelorakan semangat untuk maju justeru lahir dari budayanya atau kultur sendiri.

Modernisasi tetap membawa kulturDengan jiwa dan mental yang telah begitu kuat tradisinya, maka Jepang hingga saat ini begitu menjunjung tinggi nilai-nilai semangat dan penghargaan terhadap human relation. Bagi orang Jepang, membina hubungan dengan orang lain sangat dijaga. Karenanya tidak heran, kini, mereka tidak suka berbohong jika berjanji dengan orang Jepang jam 1 misalnya mereka akan datang jam satu. Begitu juga untuk antri membeli tiket dan antri di restoran, mereka sangat menghargainya dan mau ikut antri. Padahal, kita orang Indonesia yang mayoritas muslim, sebenarnya mampu menjadi tertib dan tertata dalam kehidupan jika mau.

Jika hal-hal sepele saja mereka perhatikan pantaslah kemudian, Jepang begitu tertata dalam pergaulan di masyarakatnya. Orang Jepang memang lebih suka moralitas, dan menjaga hubungan baik dengan orang lain. Seperti penjelasan di atas, bagi Jepang, jati diri yang penting bagi bukanlah simbol luarnya, bukan warna rambutnya, tapi lebih pada nilai-nilai atau values yang tertanam dalam diri setiap pribadi mereka. Pertanyaan dari masalah ini, sanggupkah kita orang Indonesia yang juga memiliki kultur kuat secara tradisi juga secara agama baik dari agama manapun, maka adakah keinginan kuat untuk bisa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan tetap menjaga tradisinya sendiri, bukan tradisi impor yang diambil dari para importir? Ya, tentu saja penulis berharap bisa dan sanggup. Kalau begitu hanya tinggal bergumam: Amin.

Tradisi bila tetap dijaga ternyata tidak serta merta mendapat julukan yang kurang enak: tradisionalis, kolot dan kuno. Sebaliknya, bagi masyarakat Jepang tidaklah demikian. Jepang, sebuah negara yang memperoleh kesuksesan menjadi negara modern dan patut dicontoh bagi negara-negara berkembang di Asia, justru maju dan modern karena menunggangi nilai-nilai tradisinya. Nilai-nilai tradisi apakah yang tetap diusung Jepang dalam menapaki dirinya hingga berhasil mengimbangi negara-negara maju di Amerika dan Eropa lainnya?


Untuk mem
ahami proses perjalanan panjang mengapa negara Jepang bisa maju dan berkembang menjadi negara modern perlu memahami sejarahnya yang panjang berliku. Setidaknya, ada dua masa dimana Jepang bisa mengantarkannya menjadi jadi negara modern: Pertama Masa Jengoku Jidai atau zaman Tokugawa (masa perang) berkisar antara abad XV – XVII. Pada masa ini para Samurai menjadi pasukan bela negara yang kuat dan merupakan kelas masyarakat tertinggi di
sana. Kedua, masa Restorasi Meiji (masa damai) berkisar dari abad XVII – XIX. Masa 200 tahun damai ini, para samurai tidak lagi menjadi gangster (tukang berkelahi) tetapi mengabdi menjadi guru dan mengajari anak-anak orang-orang kaya (kelas pedagang). Di Jepang waktu itu, kelas tertinggi diduduki Samurai, Ksatria, Pedagang, Petani dan beberapa kelas di bawahnya lagi.

kimonoSetelah melewati masa damai selama 200 tahun ini (Restorasi Meiji) jepang memiiliki modal yang cukup untuk maju. Bayangkan tingkat melek huruf orang jepang waktu itu sudah hampir 100% (98%). Bandingkan dengan Eropa saat itu hanya berkisar antara 60-70% saja. Lebih parah lagi jika dibandingkan dengan Indonesia yang sekarang tingkat kelulusan S1 saja hanya 20% dari total jumlah penduduk. Sedangkan yang lulus SD berkisar 60-70%. Tentu saja negara Jepang waktu itu, dengan modal masyarakat yang sudah berhasil melek huruf hampir 100% ini kemudian para samurai berpikir apakah tetap bertahan atau ingin maju terus dikembangkan menjadi negar modern. Dari pemikiran inilah para samurai yang berpikir maju kemudian memilih agar negaranya terus dibangun menuju masyarakat modern.

Dari sinilah maka anak-anak kelas pedagang yang cerdas dikirmlah ke Eropa untuk menggali ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan untuk membekali para pelajar agar menguasai dunia kelautan mereka dikirim ke Inggris. Sebab Inggris dianggap waktu itu sebagai negara yang sangat kuat maritimnya. Satu hal lagi faktor kaisar di Jepang yang sangat mendukung modernisasi adalah prinsip kenno atau sebuah posisi kekaisaran.

Di Jepang, kaisar memegang peranan yang sangat penting bagi masyarakatnya. Jika kaisar menginginkan agar negaranya kuat dan ingin memilih Eropa sebagai tujuan belajarnya, maka proses menuju itu sangatlah mudah. Kebetulan Kaisar Meiji pikirannya sangat visioner.

Pandangan terhadap Tradisi

Tradisi bagi masyarakat jepang adalah sesuatu yang tidaklah kaku sebagaimana pandangan kita selama ini. Jika kita ingat ada film Oshin yang pernah tenar di Indonesia, kita bisa melihat di sana tokoh Oshin memakai kimono, berambut panjang dan kesan-kesan fisik lainnya. Namun sekarang, sebagaimana sering kita melihat artis-artis Indonesia berkiblat pada mode pakaian para ABG (anak baru gede) dan remaja Jepang: berambut pirang, bercat dan pakaian dengan style khas. Ini bisa dilihat pada gaya pakaian artis cantik Maia dan Mulan Kwok (grup Ratu) dan penyanyi muda berbakat.

Dari sini kemudian kita bertanya: Apakah mereka menghargai tradisi Jepang atau tidak? Kesan kita selama ini, orang Jepang itu pakai kimono, berambut panjang, dan kesan-kesan fisik lainnya. Tapi yang disebut tradisi di Jepang itu bukanlah itu semua, tapi spirit untuk memadukan antara kehendak untuk maju dengan spirit mempertahankan budaya. Simbol-simbol tradisinya bisa hilang, tapi spirit selalu ada dalam dada mereka. Mereka bisa mengatakan, saya orang Jepang, walau rambut saya merah. Disamping itu, hingga saat ini, banyak orang-orang kita menganggap bahwa gaya bekerja orang Jepang sangat tinggi, dan sangat keras. Rupanya, antusias untuk maju begitu kuat di dada mereka.

Darimanakah semangat yang begitu keras di dapatkan. Ternyata, bukan dari siapa-siapa dan bukan dari orang luar tetapi dari spirit para guru-guru samurai yang diturunkan murid-murid pedagang. Spirit itulah yang sekarang masih ada dan menyatu pada diri dan membentuk kepribadian orang Jepang. Keuletan bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang dari orang Barat itu jugalah yang membuat orang Barat geleng-geleng kepala. Mereka seakan-akan hidup untuk, bukan bekerja untuk hidup. Dari kacamata ilmu sosial ada istilah virus kemajuan (need for achievement) itu kini terbentuk di masyarakat Jepang. Sebuah tradisi yang begitu menggelorakan semangat untuk maju justeru lahir dari budayanya atau kultur sendiri.

Modernisasi tetap membawa kulturDengan jiwa dan mental yang telah begitu kuat tradisinya, maka Jepang hingga saat ini begitu menjunjung tinggi nilai-nilai semangat dan penghargaan terhadap human relation. Bagi orang Jepang, membina hubungan dengan orang lain sangat dijaga. Karenanya tidak heran, kini, mereka tidak suka berbohong jika berjanji dengan orang Jepang jam 1 misalnya mereka akan datang jam satu. Begitu juga untuk antri membeli tiket dan antri di restoran, mereka sangat menghargainya dan mau ikut antri. Padahal, kita orang Indonesia yang mayoritas muslim, sebenarnya mampu menjadi tertib dan tertata dalam kehidupan jika mau.

Jika hal-hal sepele saja mereka perhatikan pantaslah kemudian, Jepang begitu tertata dalam pergaulan di masyarakatnya. Orang Jepang memang lebih suka moralitas, dan menjaga hubungan baik dengan orang lain. Seperti penjelasan di atas, bagi Jepang, jati diri yang penting bagi bukanlah simbol luarnya, bukan warna rambutnya, tapi lebih pada nilai-nilai atau values yang tertanam dalam diri setiap pribadi mereka. Pertanyaan dari masalah ini, sanggupkah kita orang Indonesia yang juga memiliki kultur kuat secara tradisi juga secara agama baik dari agama manapun, maka adakah keinginan kuat untuk bisa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan tetap menjaga tradisinya sendiri, bukan tradisi impor yang diambil dari para importir? Ya, tentu saja penulis berharap bisa dan sanggup. Kalau begitu hanya tinggal bergumam: Amin.

Tradisi bila tetap dijaga ternyata tidak serta merta mendapat julukan yang kurang enak: tradisionalis, kolot dan kuno. Sebaliknya, bagi masyarakat Jepang tidaklah demikian. Jepang, sebuah negara yang memperoleh kesuksesan menjadi negara modern dan patut dicontoh bagi negara-negara berkembang di Asia, justru maju dan modern karena menunggangi nilai-nilai tradisinya. Nilai-nilai tradisi apakah yang tetap diusung Jepang dalam menapaki dirinya hingga berhasil mengimbangi negara-negara maju di Amerika dan Eropa lainnya?


Untuk mem
ahami proses perjalanan panjang mengapa negara Jepang bisa maju dan berkembang menjadi negara modern perlu memahami sejarahnya yang panjang berliku. Setidaknya, ada dua masa dimana Jepang bisa mengantarkannya menjadi jadi negara modern: Pertama Masa Jengoku Jidai atau zaman Tokugawa (masa perang) berkisar antara abad XV – XVII. Pada masa ini para Samurai menjadi pasukan bela negara yang kuat dan merupakan kelas masyarakat tertinggi di
sana. Kedua, masa Restorasi Meiji (masa damai) berkisar dari abad XVII – XIX. Masa 200 tahun damai ini, para samurai tidak lagi menjadi gangster (tukang berkelahi) tetapi mengabdi menjadi guru dan mengajari anak-anak orang-orang kaya (kelas pedagang). Di Jepang waktu itu, kelas tertinggi diduduki Samurai, Ksatria, Pedagang, Petani dan beberapa kelas di bawahnya lagi.

kimonoSetelah melewati masa damai selama 200 tahun ini (Restorasi Meiji) jepang memiiliki modal yang cukup untuk maju. Bayangkan tingkat melek huruf orang jepang waktu itu sudah hampir 100% (98%). Bandingkan dengan Eropa saat itu hanya berkisar antara 60-70% saja. Lebih parah lagi jika dibandingkan dengan Indonesia yang sekarang tingkat kelulusan S1 saja hanya 20% dari total jumlah penduduk. Sedangkan yang lulus SD berkisar 60-70%. Tentu saja negara Jepang waktu itu, dengan modal masyarakat yang sudah berhasil melek huruf hampir 100% ini kemudian para samurai berpikir apakah tetap bertahan atau ingin maju terus dikembangkan menjadi negar modern. Dari pemikiran inilah para samurai yang berpikir maju kemudian memilih agar negaranya terus dibangun menuju masyarakat modern.

Dari sinilah maka anak-anak kelas pedagang yang cerdas dikirmlah ke Eropa untuk menggali ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan untuk membekali para pelajar agar menguasai dunia kelautan mereka dikirim ke Inggris. Sebab Inggris dianggap waktu itu sebagai negara yang sangat kuat maritimnya. Satu hal lagi faktor kaisar di Jepang yang sangat mendukung modernisasi adalah prinsip kenno atau sebuah posisi kekaisaran.

Di Jepang, kaisar memegang peranan yang sangat penting bagi masyarakatnya. Jika kaisar menginginkan agar negaranya kuat dan ingin memilih Eropa sebagai tujuan belajarnya, maka proses menuju itu sangatlah mudah. Kebetulan Kaisar Meiji pikirannya sangat visioner.

Pandangan terhadap Tradisi

Tradisi bagi masyarakat jepang adalah sesuatu yang tidaklah kaku sebagaimana pandangan kita selama ini. Jika kita ingat ada film Oshin yang pernah tenar di Indonesia, kita bisa melihat di sana tokoh Oshin memakai kimono, berambut panjang dan kesan-kesan fisik lainnya. Namun sekarang, sebagaimana sering kita melihat artis-artis Indonesia berkiblat pada mode pakaian para ABG (anak baru gede) dan remaja Jepang: berambut pirang, bercat dan pakaian dengan style khas. Ini bisa dilihat pada gaya pakaian artis cantik Maia dan Mulan Kwok (grup Ratu) dan penyanyi muda berbakat.

Dari sini kemudian kita bertanya: Apakah mereka menghargai tradisi Jepang atau tidak? Kesan kita selama ini, orang Jepang itu pakai kimono, berambut panjang, dan kesan-kesan fisik lainnya. Tapi yang disebut tradisi di Jepang itu bukanlah itu semua, tapi spirit untuk memadukan antara kehendak untuk maju dengan spirit mempertahankan budaya. Simbol-simbol tradisinya bisa hilang, tapi spirit selalu ada dalam dada mereka. Mereka bisa mengatakan, saya orang Jepang, walau rambut saya merah. Disamping itu, hingga saat ini, banyak orang-orang kita menganggap bahwa gaya bekerja orang Jepang sangat tinggi, dan sangat keras. Rupanya, antusias untuk maju begitu kuat di dada mereka.

Darimanakah semangat yang begitu keras di dapatkan. Ternyata, bukan dari siapa-siapa dan bukan dari orang luar tetapi dari spirit para guru-guru samurai yang diturunkan murid-murid pedagang. Spirit itulah yang sekarang masih ada dan menyatu pada diri dan membentuk kepribadian orang Jepang. Keuletan bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang dari orang Barat itu jugalah yang membuat orang Barat geleng-geleng kepala. Mereka seakan-akan hidup untuk, bukan bekerja untuk hidup. Dari kacamata ilmu sosial ada istilah virus kemajuan (need for achievement) itu kini terbentuk di masyarakat Jepang. Sebuah tradisi yang begitu menggelorakan semangat untuk maju justeru lahir dari budayanya atau kultur sendiri.

Modernisasi tetap membawa kulturDengan jiwa dan mental yang telah begitu kuat tradisinya, maka Jepang hingga saat ini begitu menjunjung tinggi nilai-nilai semangat dan penghargaan terhadap human relation. Bagi orang Jepang, membina hubungan dengan orang lain sangat dijaga. Karenanya tidak heran, kini, mereka tidak suka berbohong jika berjanji dengan orang Jepang jam 1 misalnya mereka akan datang jam satu. Begitu juga untuk antri membeli tiket dan antri di restoran, mereka sangat menghargainya dan mau ikut antri. Padahal, kita orang Indonesia yang mayoritas muslim, sebenarnya mampu menjadi tertib dan tertata dalam kehidupan jika mau.

Jika hal-hal sepele saja mereka perhatikan pantaslah kemudian, Jepang begitu tertata dalam pergaulan di masyarakatnya. Orang Jepang memang lebih suka moralitas, dan menjaga hubungan baik dengan orang lain. Seperti penjelasan di atas, bagi Jepang, jati diri yang penting bagi bukanlah simbol luarnya, bukan warna rambutnya, tapi lebih pada nilai-nilai atau values yang tertanam dalam diri setiap pribadi mereka. Pertanyaan dari masalah ini, sanggupkah kita orang Indonesia yang juga memiliki kultur kuat secara tradisi juga secara agama baik dari agama manapun, maka adakah keinginan kuat untuk bisa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan tetap menjaga tradisinya sendiri, bukan tradisi impor yang diambil dari para importir? Ya, tentu saja penulis berharap bisa dan sanggup. Kalau begitu hanya tinggal bergumam: Amin.

0 komentar: